Penanaman Nilai-Nilai Karakter Melalui Mendongeng Dengan Media "Water Kawan"


Perkembangan jaman yang terjadi saat ini lebih mengedepankan pada penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Suatu kebanggaan tersendiri bagi orang tua ataupun guru jika anaknya mampu menguasai teknologi informasi dan komunikasi, namun terkadang mereka kurang menyadari sisi negatif yang ditimbulkan dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh anak-anak mereka sehingga tidak heran jika nilai-nilai karakter, budaya dan moral anak semakin terkikis. Kompas mencatat bahwa setiap 91 detik terjadi satu kejahatan di Indonesia sepanjang tahun 2012. Jumlahnya hingga mencapai 316.500 kasus (http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 26 April 2013). Data ini menunjukkan bahwa kondisi moral dan karakter bangsa Indonesia cukup memprihatinkan.
Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) turut berperan dalam meningkatkan kualitas manusia yang berkarakter dan bermoral baik. Lembaga PAUD semestinya dapat membekali anak agar memiliki kesadaran berperilaku, berkarakter dan bermoral yang baik sejak dini. Salah satu upayanya adalah dengan menekankan pada pendidikan karakter dalam setiap aktivitas yang dilakukan anak di sekolah. Pendidikan karakter juga dapat diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran seperti halnya dalam aktivitas mendongeng.



Aktivitas mendongeng dapat dilakukan dengan memanfaatkan media, salah satunya adalah menggunakan wayang kertas. Penggunaan wayang kertas sebagai alat peraga dalam aktivitas mendongeng dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak (Kurnia, 2012: 13). Wayang kertas yang digunakan untuk aktivitas ini dibuat sendiri oleh guru dengan memanfaatkan bahan-bahan limbah yang sudah tidak terpakai, seperti kertas, kardus dan bambu. Penggunaannya pun sangat mudah sehingga setiap guru memungkinkan menggunakan wayang kertas tersebut.
Dipilihnya wayang sebagai salah satu media bagi guru dalam mendongeng untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada anak usia dini disebabkan karena wayang memiliki makna dan nilai khusus yang sangat mendalam bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi masyarakat Jawa. Menurut Sunarto (1997: 126), wayang bukanlah sekedar bentuk yang indah dan menyenangkan untuk dinikmati, tetapi mempunyai maksud-maksud yang lebih sekedar penampilan bentuk yang menyenangkan tersebut.
Wayang merupakan sarana mengungkapkan kreativitas seni yang penuh makna dan simbol serta sarana komunikasi. Meskipun memiliki makna, nilai dan fungsi yang sangat dalam, banyak anak jaman sekarang tidak mengetahui dan memahaminya, bahkan untuk sekedar mengenal karakter tokoh pewayangan pun enggan dilakukan padahal wayang merupakan salah satu hasil kebudayaan bangsa Indonesia yang pantas mendapat  perhatian  yang  khusus  dalam  pelestarian  dan  pengembangan selanjutnya.
Melalui aktivitas mendongeng menggunakan “Water Kawan” (Wayang Kertas Berkarakter Punakawan), guru dapat memperkenalkan budaya tradisional dengan mengenalkan tokoh pewayangan, khususnya punakawan (Semar, gareng, Petruk dan Bagong). Dongeng yang disampaikan guru juga dapat dijadikan materi pendidikan karakter pada anak usia dini. Lalu, bagaimana deskripsi kebutuhan media “Water Kawan” (Wayang Kertas Berkarakter Punakawan) dalam mendongeng untuk menanamkan nilai-nilai karakter anak usia dini ? dan Bagaimana penanaman nilai-nilai karakter dengan teknik mendongeng menggunakan “Water Kawan” (Wayang Kertas Berkarakter Punakawan) pada anak usia dini ?
1.      Penanaman Nilai-Nilai Karakter Anak Usia Dini
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Karakter adalah tabiat atau kebiasaan untuk melakukan hal yang baik (Kemdiknas, 2012: 4).
Russel Williamns sebagaimana dikutip oleh Q-Anees dan Hambali (2009: 99) mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat “otot” dimana “otot-otot” karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih dan akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan yang terus menerus berlatih untuk membentuk ototnya, “otot-otot” karakter juga akan terbentuk dengan praktik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit).
Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak” (Kemdiknas, 2010: 12). Stephen Covey sebagaimana dikutip oleh Q-Anees dan Hambali (2009: 119) merumuskan bahwa berkarakter berarti sanggup bertindak proaktif, bukan reaktif. Proaktif berarti menggunakan “peralatan dalam diri” (pilihan, bertanggung jawab, kesadaran) untuk merujuk pada prinsip-prinsip kehidupan. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya) (Kemdiknas, 2010: 12).
Pendidikan karakter adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter kepada anak didik yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan, kepada Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan agar menjadi manusia yang berakhlak (Kemdiknas, 2012: 4).
Menurut T. Ramli sebagaimana dikutip dalam Kemdiknas (2010: 14), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Ratna Megawangi sebagaimana dikutip oleh Bambang Q-Anes dan Adang Hambali (2009: 107) mengemukakan 4 metode (4M) dalam pendidikan karakter, yaitu: mengetahui, mencintai, menginginkan dan mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the good and acting the good). Metode ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh yaitu dengan mengetahui, mencintai, menginginkan dan mengerjakan.
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat ditanamkan pada anak usia dini (0-6 tahun), mencakup empat aspek, yaitu: (1) Aspek Spiritual, (2) Aspek Personal/kepribadian, (3) Aspek Sosial, dan (4) Aspek lingkungan (Kemdiknas, 2012: 5). Pada pendidikan anak usia dini nilai-nilai yang dipandang sangat penting dikenalkan dan diinternalisasikan ke dalam perilaku anak mencakup (Kemdiknas, 2012):
a.       Kecintaan terhadap Tuhan YME yaitu nilai yang didasarkan pada perilaku yang menunjukkan kepatuhan kepada perintah dan larangan Tuhan YME yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Kejujuran yaitu keadaan yang terkait dengan ketulusan dan kelurusan hati untuk berbuat benar.
c.    Disiplin yaitu nilai yang berkaitan dengan ketertiban dan keteraturan. 
d.      Toleransi dan cinta damai, yaitu penanaman kebiasaan bersabar, tenggang rasa dan menahan emosi serta keinginannya.
e.       Percaya diri yaitu sikap yang menunjukkan memahami kemampuan diri dan nilai harga diri.
f.       Mandiri yaitu perilaku yang tidak bergantung pada orang lain. Penanaman nilai ini bertujuan anak terbiasa untuk menen-tukan, melakukan, memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan atau dengan bantuan yang seperlunya.
g.      Tolong menolong, kerjasama, dan gotong royong yaitu salah satu bentuk kemampuan sosialisasi dan kematangan emosi adalah kemampuan bekerjasama. Penanaman nilai ini dalam keseharian dilakukan melalui pembiasaan.
h.      Kreatif yaitu kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada untuk memecahkan masalah maupun menciptakan hal baru.
i.      Hormat dan sopan santun yaitu nilai yang terkait dengan tata krama penghormatan pada orang lain, yang sesuai dengan norma budaya.
j.        Tanggung jawab yaitu nilai yang terkait dengan kesadaran untuk melakukan dan menanggung segala sesuatunya.
k.      Kerja keras yaitu nilai yang berkaitan dengan perilaku pantang menyerah, yaitu mengerjakan sesuatu hingga selesai dengan gembira.
l.        Kepemimpinan dan keadilan yaitu nilai yang terkait dengan sikap dan perilaku yang menunjuk pada prinsip kepemimpinan, seperti bertanggungjawab, membimbing, berkorban, melindungi, mengkomunikasikasikan, mengatur, menguasai,mengarahkan atau mengajak orang lain untuk melakukan suatu kebajikan dan keadilan.
m.    Rendah hati, yaitu mencerminkan kebesaran jiwa seseorang dan sikap tidak sombong dan bersedia untuk mengalami kehebatan orang lain. Dengan adanya sikap rendah hati, kita bisa mengikis rasa ego kita, dan mau belajar dari orang lain.
n.      Peduli lingkungan yaitu nilai yang didasarkan pada sikap dan perilaku yang penuh perhatian dan rasa sayang terhadap keadaan yang ada dilingkungan sekitarnya yaitu  memperhatikan, mengamati dan mencintai lingkungan.
o.      Cinta bangsa dan tanah air yaitu nilai yang terkait dengan perasaan bangga dan cinta pada bangsa atau tanah air.
Ada tujuh prinsip pendidikan karakter yang harus dilaksanakan oleh pendidik dan lembaga PAUD, yaitu (Kemdiknas, 2012: 6):
a.       Melalui contoh dan keteladanan
b.      Dilakukan secara berkelanjutan
c.       Menyeluruh, terintegrasi dalam seluruh aspek perkembangan
d.      Menciptakan suasana kasih sayang
e.       Aktif memotivasi anak
f.       Melibatkan pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
g.      Adanya penilaian
Penanaman dan pengembangan nilai-nilai karakter pada anak usia dini pada dasarnya merupakan salah satu upaya menanamkan sikap dan perilaku berdasarkan agama dan moral yang berlaku dalam masyarakat. Kurnia (2012: 46) mengemukakan materi pengembangan untuk pendidikan karakter adalah:
a.       Aplikatif: materi bersifat terapan, yang berkaitan dengan kegiatan rutin anak sehari-hari dan sangat dibutuhkan untuk kepentingan aktivitas anak, serta dapat dilakukan anak dalam kehidupannya.
b.      Enjoyable: pengajaran materi dan materi yang dipilih diupayakan mampu membuat anak senang, menikmati dan mau mengikuti dengan antusias.
c.       Mudah ditiru: materi yang disajikan dapat dipraktikkan sesuai dengan kemampuan fisik dan karakter lahiriah anak.
Penanaman nilai-nilai karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Bila  seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik sejak dini, maka anak tersebut akan berkarakter baik di masa mendatang.

2.      “Water Kawan” (Wayang Kertas Berkarakter Punakawan)
Menurut Sumukti (2006: 21), wayang dapat berarti boneka atau tokoh dalam suatu drama dan yang utama diasosiasikan dengan teater boneka wayang. Hal ini tergantung pada bahan yang dipakai untuk membuat boneka itu. Kalau boneka tersebut terbuat dari kulit, namanya wayang kulit, kalau boneka tersebut berasal dari kayu, maka disebut wayang golek. Wayang kulit yang pipih kebanyakan diukir dan dicar secara artistik. Wayang kulit ini digerakkan di depan lampu sedemikian rupa sehingga bayangannya jatuh pada kelir yang dibuat dari kain putih. Boneka wayang kulit jika ditempelkan di kelir oleh seorang dalang, maka bentuk garisnya tampak nyata menembus kelir.
“Water Kawan” atau Wayang Kertas Berkarakter Punakawan merupakan wayang yang terbuat dari kertas dibentuk menyerupai karakter punakawan yang terdapat pada wayang kulit purwa. “Water Kawan” dibuat dengan memanfaatkan barang-barang bekas, yaitu kertas, kardus bekas dan peralatan lain yang mudah diperoleh. Berikut ini alat dan bahan yang dipergunakan untuk pembuatan “Water Kawan”:
 Sementara itu, punakawan menurut pedhalangan terdiri dari kata “pana” yang berarti “cerdik” dan kata “kawan” yang berarti teman/pamong. Punakawan mempunyai arti teman, pamong yang amat cerdik, dapat dipercaya, memiliki pandangan yang luas serta tajam pengamatan dan cermat (Sunarto, 1997: 101). Dengan demikian, punakawan adalah tokoh yang paham benar, arif dan bersahabat. Para punakawan selalu mengabdi kepada ksatria yang berbudi luhur dari pihak yang memperjuangkan kebenaran dan keagungan.
Tokoh punakawan karakteristik yang berbeda-beda. Pada wayang kulit Jawa Tengah seperti wayang kulit gaya Yogyakarta, dikenal Semar, Gareng, Petruk dan Bagong (Bawor). Tokoh punawakan pada umumnya dijumpai pada suatu pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon apapun selalu tampil dengan banyolan-banyolan atau ndagel. Oleh karenanya, punakawan disebut dengan dhagelan (pelawak) (Sunarto, 1997: 99).
Menurut fungsinya, punakawan dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu (Sunarto, 1997: 101):
a.         Punakawan kanan
Dalam kelompok ini merupakan tokoh nunakawan yang biasa sebagai abdi penderek para ksatria yang umumnya berbudi luhur dan berwatak ksatria. Menurut Ki M.A. Machfoed sebagaimana dikutip Sunarto (1997: 101), punakawan golongan kanan ini disebut ashhabulyamiin seperti dalam Q.S Al Waqi’ah. Kelompok ini memiliki perwatakan serba soleh dan dapat dipercaya. Adapun punakawan yang tergolong kelompok kanan adalah: Semar Bodronoyo, Nala Gareng, Petruk Kantongbolong dan Bagong.
b.        Punakawan kiri
Dalam kelompok punakawan kiri ini jumlahnya tidak panyak. Pada umumnya sebagai penderek bagi para raja sabrang terutama yang berwatang angkara murka. Dalam menanamkan kelompok tokoh punawakan ini pun mengambil istilah dalam kitab suci Al Qur’an. Punakawan yang berasal dari orang kiri yang disebut ashhaabusymaal. Perwatakan yang disandang oleh punakawan kiri antara lain palsu, penghianat, perusak, pembohong dan mementingkan kebutuhan sendiri. Tokoh punakawan kiri dalam wayang kulit purwa adalah Togog Tejomantri, Bilung Sorowito.
c.         Punakawan morgan
Punakawan morgan merupakan tokoh yang tidak banyak memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan kedua kelompok punakawan lainnya. Meskipun demikian, keberadaannya sangat dibutuhkan dalam pergelaran wayang kulit purwa. Keistimewaan dari tokoh punakawan kelompok ini antara lain tidak ada spesifik tuan (bendarane) yang diikutinya. Adapun yang termasuk punakawan morgan adalah Cangik, Limbuk dan Cantrik.
Tokoh punawakan muncul pada saat adegan gara-gara yang diawali dengan percakapan antara Gareng, Petruk dan Bagong. Biasanya mereka nembang atau melagukan tembang Jawa sambil saling menebak teka-teki, kemudian mereka bertiga didatangi Semar yang bicara lebih serius dengan ketiga punawakan lainnya. Percakapan antara Gareng, Petruk dan Bagong biasanya mempunyai gaya bercanda, tidak serius tetapi nasihat Semar kepada punakawan lainnya penuh arti dan bersifat sungguh-sungguh walaupun sering diberikan dengan gaya santai. Semar memberikan nasihat kepada Gareng, Petruk dan Bagong tentang tingkah laku yang baik dan bagaimana orang seharusnya menjalankan tugas dan kewajibannya. Akhirnya Semar menyarankan kepada ketiganya supaya ikut memikirkan tanggung jawab tuan mereka yang sedang mengembang tugas berat. Kepada mereka bertiga, Semar menasihati supaya menyumbangkan sesuatu yang dapat membantu tuannya, misanya mengemukakan gagasannya (Sumukti, 2006: 23).
Pada kehidupan masyarakat Jawa, pertunjukan wayang tidak hanya berperan sebagai sarana hiburan. Di dalamnya juga mengandung nilai-nilai yang bisa dipetik bagi kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bersangkutan dengan hal-hal spiritual dan religius, tetapi juga bersanangkutan persoalan-persoalan etika kehidupan, budi pekerti, pendidikan, bahkan politik dan bernegara. Sunarto (1997: 132) mengemukakan fungsi ganda wayang kulit purwa kaitannya dengan kegiatan budaya, yaitu: pertama, berfungsi sebagai sarana pengungkap preativitas seni, kedua, sebagai sarana komunikasi dalam berbagai kepentingan. Dengan bahasanya sendiri  wayang bahkan mampu menerjemaahkan fenomena politik dan kenegaraan yang kaku, formal dan penuh ketabuan ke dalam bahasa yang mudah dipahami.

3.      Aktivitas Mendongeng untuk Anak Usia Dini
Istilah “dongeng” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008; 340) memiliki makna cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh). Mendongeng berarti menceritakan dongeng.
Menurut Danandjaja sebagaimana dikutip oleh Musfiroh (2008: 73), dongeng adalah cerita khayali yang dianggap tidak benar-benar terjadi, baik oleh penuturnya maupun pendengarnya. Dongeng tidak terikat ketentuan normatif dan faktual tentang pelaku, waktu dan tempat. Pelakunya adalah makhluk-makhluk khayali yang memiliki kebijaksanaan atau kekurangan untuk mengatur masalah manusia dengan segala macam cara. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran atau bahkan moral.
Menurut Moeslichatoen (2004: 157), mendongeng merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak dengan membawakan cerita secara lisan. Cerita yang dibawakan harus menarik dan mengundang perhatian anak serta tidak lepas dari tujuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Lebih lanjut Moeslichatoen (2004: 159) menyebutkan bahwa mendongeng merupakan cara meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dongeng dapat dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan pada anak.
Aktivitas mendongeng merupakan aktivitas penting dan tak terpisahkan dalam program pendidikan untuk anak usia dini. Mendongeng memiliki manfaat sebagai berikut (Tadkirotun, 2008: 81):
a.       Membantu pembentukan pribadi dan moral anak
Mendongeng ataupun bercerita sangat efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak karena mereka senang mendengarkan cerita walaupun dibacakan secara berulang-ulang. Pengulangan, imajinasi anak dan nilai kedekatan guru atau orang tua membuat cerita menjadi efektif untuk mempengaruhi cara berpikir anak. Dongeng atau cerita mendorong perkembangan moral pada anak karena beberapa sebab, yaitu:
1)      Menghadapkan anak kepada situasi yang mengandung “konsiderasi” yang sedapat mungkin mirip dengan yang dihadapi anak dalam kehidupan.
2)      Cerita dapat memancing anak menganalisis situasi, dengan melihat bukan hanya yang nampak tetapi juga sesuatu yang tersirat di dalamnya untuk menemukan isyarat-isyarat halus yang tersembunyi tentang perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
3)      Cerita mendorong anak untuk menelaah perasaannya sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
4)      Cerita mengembangkan rasa konsederasi atau tepa slira yaitu pemahaman dan penghargaan atas apa yang diucapkan atau dirasakan tokoh hingga akhirnya anak memiliki konsiderasi terhadap orang lain dalam alam nyata.
b.      Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi
Anak membutuhkan dongeng karena: 1) anak membangun gambaran-gambaran mental pada saat guru memperdengarkan kata-kata yang melukiskan kejadian, 2) anak memperoleh gambaran yang beragam sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman masing-masing, 3) anak memperoleh kebebasan untuk melakukan pilihan secara mental, 4) anak memperoleh kesempatan menangkap imaji dari citraan-citraan cerita, 5) Anak memiliki tempat untuk “melarikan” permasalahan, 6) anak memperoleh kesempatan merangkai-rangkai hubungan sebab akibat secara imajinatif.
c.       Memacu kemampuan verbal anak
Kemampuan verbal memiliki arti yang sangat esensial dalam kehidupan manusia modern. Hampir tidak ada satu pun profesi yang tidak mensyaratkan kemampuan verbal, bahkan sekarang profesi yang bertumpu pada kecerdasan linguistik memperoleh tempat yang terhargai, seperti presenter, komentator, juru bicara, wartawan, reporter, pengacara, alih bahasa dan pendidik.
d.      Merangsang minat anak untuk menulis
Anak yang gemar mendengarkan dan membaca cerita akan memiliki kemampuan berbicara, menulis dan memahami gagasan rumit secara lebih baik. Dengan demikian, selain memacu kemampuan berbicara, mendengarkan cerita juga merangsang minat menulis pada anak.
Pentingnya kegiatan mendongeng perlu dilakukan secara menarik, maka mendongeng harus dilaksanakan dengan langkah-langkah tertentu, yaitu (Musfiroh, 2008: 101):
a.       Memilah dan memilih materi cerita
Studi psikolinguistik membuktikan bahwa judul memiliki kontribusi terhadap memori cerita. Judul merupakan elemen cerita yang pertama kali diingat daripada kalimat-kalimat dalam cerita. Melalui judul, pendengar atau pembaca akan memanfaatkan latar belakang pengetahuan untuk memproses isi cerita secara top down. Setelah menemukan judul yang tepat, guru baru menemukan materi cerita yang baik. Guru dapat melakukan kegiatan sebagai berikut (Cox dalam Musfiroh, 2008: 103):
1)      Mencari sumber cerita sebanyak-banyaknya, baik sumber visual berupa buku, sumber audial berupa dongeng mulut ke mulut dan cerita radio maupun sumber audio visul berupa cerita di televisi, video maupun film.
2)      Catat dan urutkan cerita-cerita tersebut dalam sebuah file cerita.
3)      Pilihlah dongeng berdasarkan hasil analisis yang guru lakukan, misalnya: untuk usia berapa kira-kira cerita tersebut akan disampaikan.
4)      Identifikasi materi pendukung yang dapat diusahakan guru dan orang tua, seperti boneka, wayang, musik atau cerita pendukung lainnya termasuk tempat untuk merekam respons anekdotal dan ide untuk kegiatan bercerita yang akan datang
b.      Memahami dan menghafal isi cerita
Memahami cerita merupakan modal awal bagi guru untuk bercerita. Pemahaman ini diperoleh setelah guru membaca cerita atau menyimak cerita dari generasi terdahulu, memperoleh identifikasi unsur cerita dan memberikan makna pada cerita. Pemahaman juga meliputi kemampuan menangkap pesan moral, karakter tokoh, alur cerita dan unsur cerita yang lain. Kualitas pemahaman cerita menentukan fleksibilitas teknik bercerita guru di hadapan anak.
Selain memahami cerita, guru juga harus mampu menghafal cerita yang akan disampaikan. Hal ini dimaksudkan agar guru dapat memanfaatkan media yang akan digunakan dengan optimal. Cara ini sangat efektif dalam membantu anak memahami cerita yang disampaikan guru.
c.       Menghayati karakter tokoh
Menghayati berarti mengerti dan mengandaikan diri sebagai tokoh (Musfiroh, 2008: 114). Karakter cerita mengacu pada dua pengertian, yaitu tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dan sifat tokoh yang meliputi sikap, ketertarikan, keinginan, emosi dan prinsip moral yang dimiliki tokoh. Karakter cerita meliputi tokoh atau pelaku cerita yang juga perwatakannya. Menghayati karakter tokoh berarti menghayati hal-hal yang dirasakan, dipikirkan dan diinginkan tokoh-tokoh tersebut. Guru dituntut mampu menghayati bagaimana menjadi tokoh jahat dan bagaimana menjadi tokoh yang baik.
d.      Latihan dan introspeksi
Setelah memahami cerita, menghafal cerita dan menghayati karakter tokoh-tokoh yang akan diceritakan, guru perlu berlatih bercerita. Apabila belum memiliki pengalaman bercerita yang baik, latihan dapat dilakukan di depan cermin.

4.      Metode Perkembangan Emosi pada Anak Usia Dini
Penanaman nilai-nilai karakter pada anak usia dini berkaitan dengan upaya mengoptimalkan perkembangan emosi anak. Hurlock (1987: 214) mengmukakan metode belajar yang menunjang perkembangan emosi pada anak usia dini, yaitu:
d.        Belajar secara coba dan ralat
Belajar secara coba dan ralat (trial and error learning) terutama melibatkan aspek reaksi. Anak secara coba-coba mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan.
e.         Belajar dengan cara meniru (learning by imitation)
Belajar dengan cara meniru (learning by imitation) sekaligus mempengaruhi aspek rangsangan dan aspek reaksi. Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi tertentu pada orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya.
f.         Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)
Belajar dengan cara mempersamakan diri sama dengan belajar secara menirukan yaitu anak menirukan reaksi emosional orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi yang ditiru. Metode ini berbeda dari metode menirukan dalam dua segi, yaitu: pertama, anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan upaya mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya, kedua, motivasi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat dibandingkan dengan motivasi untuk menirukan sembarang orang.
g.        Belajar melalui pengkondisian
Pengkondisian (conditioning) berarti belajar dengan cara asosiasi. Dalam metode ini, objek dan situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pada masa kanak-kanak awal, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
h.        Pelatihan
Pelatihan (training) atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengendalikan lingkungan apabila memungkinkan.
Wayang kertas berkarakter punakawan merupakan modifikasi dari wayang kulit yang sudah ada sebelumnya, sedangkan penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran terinspirasi dari pertunjukan wayang dengan cerita yang khas. Cerita yang disampaikan oleh seorang dalang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Demikian halnya seorang guru dalam memanfaatkan media wayang kertas berkarakter punakawan. Guru dapat mengangkat cerita sederhana dengan media wayang untuk menyampaikan pesan-pesan yang dapat membangkitkan kesadaran berperilaku sesuai dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan pada anak usia dini.
Wayang merupakan identitas bangsa Indonesia, demikian halnya tokoh punakawan. Mengangkat tema tentang pewayangan berarti mengangkat budaya dan kearifan lokal yang bersumber dari tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Salah satu tokoh punakawan yaitu Semar, identik dengan Banyumas dan Banjarnegara. Orang banyak mengenal Banjarnegara dengan dawet ayu-nya yang lezat. Pada gerobak dawet ayu Banjarnegara, biasanya terpajang tokoh pewayangan yaitu Semar dan Gareng.
Meskipun Semar dan Gareng menjadi icon dawet ayu Banjarnegara, namun makna dari icon tersebut belum banyak dimengerti orang banyak. Untuk itu, kebudayaan dan kekhasan lokal perlu diperkenalkan kepada anak didik khususnya anak usia dini agar kebudayaan daerah tidak tersingkir oleh kebudayaan modern.


Artikel diambil dari Karya Ilmiah dalam rangka Lomba Apresiasi PTK PAUDNI  Berprestasi Tingkat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
Previous
Next Post »