Lembaga Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) turut berperan dalam meningkatkan kualitas manusia yang berkarakter
dan bermoral baik. Lembaga PAUD semestinya dapat membekali anak agar memiliki
kesadaran berperilaku, berkarakter dan bermoral yang baik sejak dini. Salah
satu upayanya adalah dengan menekankan pada pendidikan karakter dalam setiap
aktivitas yang dilakukan anak di sekolah. Pendidikan karakter juga dapat
diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran seperti halnya dalam aktivitas
mendongeng.
|
Aktivitas mendongeng dapat
dilakukan dengan memanfaatkan media, salah satunya adalah menggunakan wayang
kertas. Penggunaan wayang kertas sebagai alat peraga dalam aktivitas mendongeng
dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara
abstrak (Kurnia, 2012: 13). Wayang kertas yang digunakan untuk aktivitas ini
dibuat sendiri oleh guru dengan memanfaatkan bahan-bahan limbah yang sudah
tidak terpakai, seperti kertas, kardus dan bambu. Penggunaannya pun sangat
mudah sehingga setiap guru memungkinkan menggunakan wayang kertas tersebut.
Dipilihnya
wayang sebagai salah satu media bagi guru dalam mendongeng untuk menanamkan nilai-nilai
karakter pada anak usia dini disebabkan karena wayang memiliki makna dan nilai
khusus yang sangat mendalam bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi masyarakat
Jawa. Menurut Sunarto (1997: 126), wayang bukanlah sekedar bentuk yang indah
dan menyenangkan untuk dinikmati, tetapi mempunyai maksud-maksud yang lebih
sekedar penampilan bentuk yang menyenangkan tersebut.
Wayang merupakan
sarana mengungkapkan kreativitas seni yang penuh makna dan simbol serta sarana
komunikasi. Meskipun memiliki makna, nilai dan fungsi yang sangat dalam, banyak
anak jaman sekarang tidak mengetahui dan memahaminya, bahkan untuk sekedar mengenal
karakter tokoh pewayangan pun enggan dilakukan padahal wayang merupakan salah
satu hasil kebudayaan bangsa Indonesia yang pantas mendapat perhatian
yang khusus dalam
pelestarian dan pengembangan selanjutnya.
Melalui aktivitas
mendongeng menggunakan “Water Kawan” (Wayang Kertas Berkarakter Punakawan),
guru dapat memperkenalkan budaya tradisional dengan mengenalkan tokoh
pewayangan, khususnya punakawan (Semar, gareng, Petruk dan Bagong). Dongeng
yang disampaikan guru juga dapat dijadikan materi pendidikan karakter pada anak
usia dini. Lalu, bagaimana deskripsi
kebutuhan media “Water Kawan” (Wayang Kertas Berkarakter Punakawan) dalam
mendongeng untuk menanamkan nilai-nilai karakter anak usia dini ? dan Bagaimana penanaman
nilai-nilai karakter dengan teknik mendongeng menggunakan “Water Kawan” (Wayang
Kertas Berkarakter Punakawan) pada anak usia dini ?
1.
Penanaman Nilai-Nilai
Karakter Anak Usia Dini
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,
watak”. Karakter adalah tabiat atau kebiasaan untuk melakukan hal yang baik
(Kemdiknas, 2012: 4).
Russel Williamns sebagaimana dikutip oleh Q-Anees dan Hambali (2009: 99)
mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat “otot” dimana “otot-otot”
karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih dan akan kuat dan
kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan yang terus menerus
berlatih untuk membentuk ototnya, “otot-otot” karakter juga akan terbentuk
dengan praktik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit).
Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat,
dan berwatak” (Kemdiknas, 2010: 12). Stephen Covey sebagaimana dikutip oleh
Q-Anees dan Hambali (2009: 119) merumuskan bahwa berkarakter berarti sanggup
bertindak proaktif, bukan reaktif. Proaktif berarti menggunakan “peralatan
dalam diri” (pilihan, bertanggung jawab, kesadaran) untuk merujuk pada
prinsip-prinsip kehidupan. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah
seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME,
dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya) (Kemdiknas, 2010: 12).
Pendidikan karakter adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter kepada
anak didik yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan, kepada Tuhan YME, diri
sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan agar menjadi manusia yang
berakhlak (Kemdiknas, 2012: 4).
Menurut T. Ramli sebagaimana
dikutip dalam Kemdiknas (2010: 14), pendidikan karakter memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat
yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter
dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan
nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam
rangka membina kepribadian generasi muda.
Ratna Megawangi sebagaimana
dikutip oleh Bambang Q-Anes dan Adang Hambali (2009: 107) mengemukakan 4 metode
(4M) dalam pendidikan karakter, yaitu: mengetahui, mencintai, menginginkan dan
mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the good and acting
the good). Metode ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang
dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh yaitu dengan mengetahui, mencintai,
menginginkan dan mengerjakan.
Nilai-nilai pendidikan
karakter yang dapat ditanamkan pada anak usia dini (0-6 tahun), mencakup empat
aspek, yaitu: (1) Aspek Spiritual, (2) Aspek Personal/kepribadian, (3) Aspek
Sosial, dan (4) Aspek lingkungan (Kemdiknas, 2012: 5). Pada pendidikan anak usia dini nilai-nilai
yang dipandang sangat penting dikenalkan dan diinternalisasikan ke dalam
perilaku anak mencakup (Kemdiknas, 2012):
a. Kecintaan
terhadap Tuhan YME yaitu nilai yang didasarkan pada perilaku yang menunjukkan
kepatuhan kepada perintah dan larangan Tuhan YME yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Kejujuran
yaitu keadaan yang terkait dengan ketulusan dan kelurusan hati untuk berbuat
benar.
c. Disiplin
yaitu nilai yang berkaitan dengan ketertiban dan keteraturan.
d. Toleransi
dan cinta damai, yaitu penanaman kebiasaan bersabar, tenggang rasa dan menahan
emosi serta keinginannya.
e. Percaya
diri yaitu sikap yang menunjukkan memahami kemampuan diri dan nilai harga diri.
f. Mandiri
yaitu perilaku yang tidak bergantung pada orang lain. Penanaman nilai ini
bertujuan anak terbiasa untuk menen-tukan, melakukan, memenuhi kebutuhan
sendiri tanpa bantuan atau dengan bantuan yang seperlunya.
g. Tolong
menolong, kerjasama, dan gotong royong yaitu salah satu bentuk kemampuan
sosialisasi dan kematangan emosi adalah kemampuan bekerjasama. Penanaman nilai
ini dalam keseharian dilakukan melalui pembiasaan.
h. Kreatif
yaitu kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan
maupun karya nyata, baik dalam bentuk karya baru maupun kombinasi dengan
hal-hal yang sudah ada untuk memecahkan masalah maupun menciptakan hal baru.
i. Hormat
dan sopan santun yaitu nilai yang terkait dengan tata krama penghormatan pada
orang lain, yang sesuai dengan norma budaya.
j.
Tanggung jawab yaitu nilai yang terkait
dengan kesadaran untuk melakukan dan menanggung segala sesuatunya.
k. Kerja
keras yaitu nilai yang berkaitan dengan perilaku pantang menyerah, yaitu
mengerjakan sesuatu hingga selesai dengan gembira.
l.
Kepemimpinan dan keadilan yaitu nilai yang
terkait dengan sikap dan perilaku yang menunjuk pada prinsip kepemimpinan,
seperti bertanggungjawab, membimbing, berkorban, melindungi,
mengkomunikasikasikan, mengatur, menguasai,mengarahkan atau mengajak orang lain
untuk melakukan suatu kebajikan dan keadilan.
m. Rendah
hati, yaitu mencerminkan kebesaran jiwa seseorang dan sikap tidak sombong dan
bersedia untuk mengalami kehebatan orang lain. Dengan adanya sikap rendah hati,
kita bisa mengikis rasa ego kita, dan mau belajar dari orang lain.
n. Peduli
lingkungan yaitu nilai yang didasarkan pada sikap dan perilaku yang penuh
perhatian dan rasa sayang terhadap keadaan yang ada dilingkungan sekitarnya
yaitu memperhatikan, mengamati dan
mencintai lingkungan.
o. Cinta
bangsa dan tanah air yaitu nilai yang terkait dengan perasaan bangga dan cinta
pada bangsa atau tanah air.
Ada tujuh prinsip pendidikan
karakter yang harus dilaksanakan oleh pendidik dan lembaga PAUD, yaitu
(Kemdiknas, 2012: 6):
a. Melalui
contoh dan keteladanan
b. Dilakukan
secara berkelanjutan
c. Menyeluruh,
terintegrasi dalam seluruh aspek perkembangan
d. Menciptakan
suasana kasih sayang
e. Aktif
memotivasi anak
f. Melibatkan
pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
g. Adanya
penilaian
Penanaman dan pengembangan
nilai-nilai karakter pada anak usia dini pada dasarnya merupakan salah satu
upaya menanamkan sikap dan perilaku berdasarkan agama dan moral yang berlaku
dalam masyarakat. Kurnia (2012: 46) mengemukakan materi pengembangan untuk
pendidikan karakter adalah:
a. Aplikatif: materi bersifat terapan, yang berkaitan dengan kegiatan rutin
anak sehari-hari dan sangat dibutuhkan untuk kepentingan aktivitas anak, serta
dapat dilakukan anak dalam kehidupannya.
b. Enjoyable: pengajaran materi dan materi yang
dipilih diupayakan mampu membuat anak senang, menikmati dan mau mengikuti
dengan antusias.
c. Mudah ditiru: materi yang disajikan dapat dipraktikkan sesuai dengan
kemampuan fisik dan karakter lahiriah anak.
Penanaman nilai-nilai
karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari
pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Bila seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik sejak dini, maka anak
tersebut akan berkarakter baik di masa mendatang.
2.
“Water Kawan” (Wayang Kertas
Berkarakter Punakawan)
Menurut
Sumukti (2006: 21), wayang dapat berarti boneka atau tokoh dalam suatu drama
dan yang utama diasosiasikan dengan teater boneka wayang. Hal ini tergantung
pada bahan yang dipakai untuk membuat boneka itu. Kalau boneka tersebut terbuat
dari kulit, namanya wayang kulit, kalau boneka tersebut berasal dari kayu, maka
disebut wayang golek. Wayang kulit yang pipih kebanyakan diukir dan dicar
secara artistik. Wayang kulit ini digerakkan di depan lampu sedemikian rupa
sehingga bayangannya jatuh pada kelir yang dibuat dari kain putih.
Boneka wayang kulit jika ditempelkan di kelir oleh seorang dalang, maka
bentuk garisnya tampak nyata menembus kelir.
“Water
Kawan” atau Wayang Kertas Berkarakter Punakawan merupakan wayang yang terbuat
dari kertas dibentuk menyerupai karakter punakawan yang terdapat pada wayang
kulit purwa. “Water Kawan” dibuat dengan memanfaatkan barang-barang bekas,
yaitu kertas, kardus bekas dan peralatan lain yang mudah diperoleh. Berikut ini
alat dan bahan yang dipergunakan untuk pembuatan “Water Kawan”:
Tokoh
punakawan karakteristik yang berbeda-beda. Pada wayang kulit Jawa Tengah
seperti wayang kulit gaya Yogyakarta, dikenal Semar, Gareng, Petruk dan Bagong
(Bawor). Tokoh punawakan pada umumnya dijumpai pada suatu pagelaran wayang
kulit purwa dengan lakon apapun selalu tampil dengan banyolan-banyolan atau
ndagel. Oleh karenanya, punakawan disebut dengan dhagelan (pelawak) (Sunarto,
1997: 99).
Menurut
fungsinya, punakawan dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu
(Sunarto, 1997: 101):
a.
Punakawan kanan
Dalam
kelompok ini merupakan tokoh nunakawan yang biasa sebagai abdi penderek para
ksatria yang umumnya berbudi luhur dan berwatak ksatria. Menurut Ki M.A.
Machfoed sebagaimana dikutip Sunarto (1997: 101), punakawan golongan kanan ini
disebut ashhabulyamiin seperti dalam Q.S Al Waqi’ah. Kelompok ini
memiliki perwatakan serba soleh dan dapat dipercaya. Adapun punakawan yang
tergolong kelompok kanan adalah: Semar Bodronoyo, Nala Gareng, Petruk
Kantongbolong dan Bagong.
b.
Punakawan kiri
Dalam
kelompok punakawan kiri ini jumlahnya tidak panyak. Pada umumnya sebagai
penderek bagi para raja sabrang terutama yang berwatang angkara murka. Dalam
menanamkan kelompok tokoh punawakan ini pun mengambil istilah dalam kitab suci
Al Qur’an. Punakawan yang berasal dari orang kiri yang disebut ashhaabusymaal.
Perwatakan yang disandang oleh punakawan kiri antara lain palsu, penghianat,
perusak, pembohong dan mementingkan kebutuhan sendiri. Tokoh punakawan kiri
dalam wayang kulit purwa adalah Togog Tejomantri, Bilung Sorowito.
c.
Punakawan morgan
Punakawan morgan
merupakan tokoh yang tidak banyak memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan
kedua kelompok punakawan lainnya. Meskipun demikian, keberadaannya sangat
dibutuhkan dalam pergelaran wayang kulit purwa. Keistimewaan dari tokoh
punakawan kelompok ini antara lain tidak ada spesifik tuan (bendarane)
yang diikutinya. Adapun yang termasuk punakawan morgan adalah Cangik, Limbuk
dan Cantrik.
Tokoh
punawakan muncul pada saat adegan gara-gara yang diawali dengan percakapan
antara Gareng, Petruk dan Bagong. Biasanya mereka nembang atau melagukan
tembang Jawa sambil saling menebak teka-teki, kemudian mereka bertiga didatangi
Semar yang bicara lebih serius dengan ketiga punawakan lainnya. Percakapan
antara Gareng, Petruk dan Bagong biasanya mempunyai gaya bercanda, tidak serius
tetapi nasihat Semar kepada punakawan lainnya penuh arti dan bersifat
sungguh-sungguh walaupun sering diberikan dengan gaya santai. Semar memberikan
nasihat kepada Gareng, Petruk dan Bagong tentang tingkah laku yang baik dan
bagaimana orang seharusnya menjalankan tugas dan kewajibannya. Akhirnya Semar
menyarankan kepada ketiganya supaya ikut memikirkan tanggung jawab tuan mereka
yang sedang mengembang tugas berat. Kepada mereka bertiga, Semar menasihati
supaya menyumbangkan sesuatu yang dapat membantu tuannya, misanya mengemukakan
gagasannya (Sumukti, 2006: 23).
Pada
kehidupan masyarakat Jawa, pertunjukan wayang tidak hanya berperan sebagai
sarana hiburan. Di dalamnya juga mengandung nilai-nilai yang bisa dipetik bagi
kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai tersebut tidak hanya bersangkutan dengan
hal-hal spiritual dan religius, tetapi juga bersanangkutan
persoalan-persoalan etika kehidupan, budi pekerti, pendidikan, bahkan politik
dan bernegara. Sunarto (1997: 132) mengemukakan fungsi ganda wayang kulit purwa
kaitannya dengan kegiatan budaya, yaitu: pertama, berfungsi sebagai sarana
pengungkap preativitas seni, kedua, sebagai sarana komunikasi dalam berbagai
kepentingan. Dengan bahasanya sendiri wayang bahkan mampu menerjemaahkan fenomena
politik dan kenegaraan yang kaku, formal dan penuh ketabuan ke dalam bahasa
yang mudah dipahami.
3.
Aktivitas Mendongeng untuk
Anak Usia Dini
Istilah “dongeng”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008; 340) memiliki makna cerita yang tidak
benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh).
Mendongeng berarti menceritakan dongeng.
Menurut Danandjaja
sebagaimana dikutip oleh Musfiroh (2008: 73), dongeng adalah cerita khayali
yang dianggap tidak benar-benar terjadi, baik oleh penuturnya maupun
pendengarnya. Dongeng tidak terikat ketentuan normatif dan faktual tentang
pelaku, waktu dan tempat. Pelakunya adalah makhluk-makhluk khayali yang
memiliki kebijaksanaan atau kekurangan untuk mengatur masalah manusia dengan
segala macam cara. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak
juga yang melukiskan kebenaran atau bahkan moral.
Menurut Moeslichatoen
(2004: 157), mendongeng merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi
anak dengan membawakan cerita secara lisan. Cerita yang dibawakan harus menarik
dan mengundang perhatian anak serta tidak lepas dari tujuan Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD).
Lebih lanjut
Moeslichatoen (2004: 159) menyebutkan bahwa mendongeng merupakan cara
meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dongeng
dapat dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan pada anak.
Aktivitas mendongeng
merupakan aktivitas penting dan tak terpisahkan dalam program pendidikan untuk
anak usia dini. Mendongeng memiliki manfaat sebagai berikut (Tadkirotun, 2008:
81):
a.
Membantu pembentukan pribadi
dan moral anak
Mendongeng ataupun
bercerita sangat efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak
karena mereka senang mendengarkan cerita walaupun dibacakan secara
berulang-ulang. Pengulangan, imajinasi anak dan nilai kedekatan guru atau orang
tua membuat cerita menjadi efektif untuk mempengaruhi cara berpikir anak.
Dongeng atau cerita mendorong perkembangan moral pada anak karena beberapa
sebab, yaitu:
1)
Menghadapkan anak kepada
situasi yang mengandung “konsiderasi” yang sedapat mungkin mirip dengan yang
dihadapi anak dalam kehidupan.
2)
Cerita dapat memancing anak
menganalisis situasi, dengan melihat bukan hanya yang nampak tetapi juga
sesuatu yang tersirat di dalamnya untuk menemukan isyarat-isyarat halus yang
tersembunyi tentang perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
3)
Cerita mendorong anak untuk
menelaah perasaannya sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk
dibandingkan.
4)
Cerita mengembangkan rasa
konsederasi atau tepa slira yaitu pemahaman dan penghargaan atas apa yang
diucapkan atau dirasakan tokoh hingga akhirnya anak memiliki konsiderasi
terhadap orang lain dalam alam nyata.
b.
Menyalurkan kebutuhan
imajinasi dan fantasi
Anak membutuhkan
dongeng karena: 1) anak membangun gambaran-gambaran mental pada saat guru
memperdengarkan kata-kata yang melukiskan kejadian, 2) anak memperoleh gambaran
yang beragam sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman
masing-masing, 3) anak memperoleh kebebasan untuk melakukan pilihan secara
mental, 4) anak memperoleh kesempatan menangkap imaji dari citraan-citraan
cerita, 5) Anak memiliki tempat untuk “melarikan” permasalahan, 6) anak
memperoleh kesempatan merangkai-rangkai hubungan sebab akibat secara
imajinatif.
c.
Memacu kemampuan verbal anak
Kemampuan verbal
memiliki arti yang sangat esensial dalam kehidupan manusia modern. Hampir tidak
ada satu pun profesi yang tidak mensyaratkan kemampuan verbal, bahkan sekarang
profesi yang bertumpu pada kecerdasan linguistik memperoleh tempat yang
terhargai, seperti presenter, komentator, juru bicara, wartawan, reporter,
pengacara, alih bahasa dan pendidik.
d.
Merangsang minat anak untuk
menulis
Anak yang gemar
mendengarkan dan membaca cerita akan memiliki kemampuan berbicara, menulis dan
memahami gagasan rumit secara lebih baik. Dengan demikian, selain memacu
kemampuan berbicara, mendengarkan cerita juga merangsang minat menulis pada
anak.
Pentingnya kegiatan
mendongeng perlu dilakukan secara menarik, maka mendongeng harus dilaksanakan
dengan langkah-langkah tertentu, yaitu (Musfiroh, 2008: 101):
a.
Memilah dan memilih materi
cerita
Studi psikolinguistik
membuktikan bahwa judul memiliki kontribusi terhadap memori cerita. Judul
merupakan elemen cerita yang pertama kali diingat daripada kalimat-kalimat
dalam cerita. Melalui judul, pendengar atau pembaca akan memanfaatkan latar
belakang pengetahuan untuk memproses isi cerita secara top down. Setelah
menemukan judul yang tepat, guru baru menemukan materi cerita yang baik. Guru
dapat melakukan kegiatan sebagai berikut (Cox dalam Musfiroh, 2008: 103):
1)
Mencari sumber cerita
sebanyak-banyaknya, baik sumber visual berupa buku, sumber audial berupa
dongeng mulut ke mulut dan cerita radio maupun sumber audio visul berupa cerita
di televisi, video maupun film.
2)
Catat dan urutkan cerita-cerita
tersebut dalam sebuah file cerita.
3)
Pilihlah dongeng berdasarkan
hasil analisis yang guru lakukan, misalnya: untuk usia berapa kira-kira cerita
tersebut akan disampaikan.
4)
Identifikasi materi
pendukung yang dapat diusahakan guru dan orang tua, seperti boneka, wayang,
musik atau cerita pendukung lainnya termasuk tempat untuk merekam respons
anekdotal dan ide untuk kegiatan bercerita yang akan datang
b.
Memahami dan menghafal isi
cerita
Memahami cerita
merupakan modal awal bagi guru untuk bercerita. Pemahaman ini diperoleh setelah
guru membaca cerita atau menyimak cerita dari generasi terdahulu, memperoleh
identifikasi unsur cerita dan memberikan makna pada cerita. Pemahaman juga
meliputi kemampuan menangkap pesan moral, karakter tokoh, alur cerita dan unsur
cerita yang lain. Kualitas pemahaman cerita menentukan fleksibilitas teknik
bercerita guru di hadapan anak.
Selain memahami
cerita, guru juga harus mampu menghafal cerita yang akan disampaikan. Hal ini
dimaksudkan agar guru dapat memanfaatkan media yang akan digunakan dengan
optimal. Cara ini sangat efektif dalam membantu anak memahami cerita yang
disampaikan guru.
c.
Menghayati karakter tokoh
Menghayati berarti
mengerti dan mengandaikan diri sebagai tokoh (Musfiroh, 2008: 114). Karakter
cerita mengacu pada dua pengertian, yaitu tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan
dan sifat tokoh yang meliputi sikap, ketertarikan, keinginan, emosi dan prinsip
moral yang dimiliki tokoh. Karakter cerita meliputi tokoh atau pelaku cerita
yang juga perwatakannya. Menghayati karakter tokoh berarti menghayati hal-hal
yang dirasakan, dipikirkan dan diinginkan tokoh-tokoh tersebut. Guru dituntut
mampu menghayati bagaimana menjadi tokoh jahat dan bagaimana menjadi tokoh yang
baik.
d.
Latihan dan introspeksi
Setelah memahami
cerita, menghafal cerita dan menghayati karakter tokoh-tokoh yang akan
diceritakan, guru perlu berlatih bercerita. Apabila belum memiliki pengalaman
bercerita yang baik, latihan dapat dilakukan di depan cermin.
4.
Metode Perkembangan Emosi pada
Anak Usia Dini
Penanaman nilai-nilai
karakter pada anak usia dini berkaitan dengan upaya mengoptimalkan perkembangan
emosi anak. Hurlock (1987: 214) mengmukakan metode belajar yang menunjang
perkembangan emosi pada anak usia dini, yaitu:
d.
Belajar secara coba dan
ralat
Belajar secara coba
dan ralat (trial and error learning) terutama melibatkan aspek reaksi.
Anak secara coba-coba mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang
memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan
pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan.
e.
Belajar dengan cara meniru (learning
by imitation)
Belajar dengan cara
meniru (learning by imitation) sekaligus mempengaruhi aspek rangsangan
dan aspek reaksi. Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi
tertentu pada orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi
yang sama dengan orang-orang yang diamatinya.
f.
Belajar dengan cara
mempersamakan diri (learning by identification)
Belajar dengan cara
mempersamakan diri sama dengan belajar secara menirukan yaitu anak menirukan
reaksi emosional orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan
rangsangan yang telah membangkitkan emosi yang ditiru. Metode ini berbeda dari
metode menirukan dalam dua segi, yaitu: pertama, anak hanya menirukan orang
yang dikagumi dan upaya mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya, kedua,
motivasi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat dibandingkan dengan
motivasi untuk menirukan sembarang orang.
g.
Belajar melalui
pengkondisian
Pengkondisian (conditioning)
berarti belajar dengan cara asosiasi. Dalam metode ini, objek dan situasi yang
pada mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan
cara asosiasi. Pada masa kanak-kanak awal, penggunaan metode pengkondisian
semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
h.
Pelatihan
Pelatihan (training)
atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi
terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap
rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar
tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi
tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengendalikan lingkungan
apabila memungkinkan.
Wayang kertas berkarakter
punakawan merupakan modifikasi dari wayang kulit yang sudah ada sebelumnya,
sedangkan penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran terinspirasi dari
pertunjukan wayang dengan cerita yang khas. Cerita yang disampaikan oleh
seorang dalang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial dan budaya
masyarakat setempat. Demikian halnya seorang guru dalam memanfaatkan media
wayang kertas berkarakter punakawan. Guru dapat mengangkat cerita sederhana dengan
media wayang untuk menyampaikan pesan-pesan yang dapat membangkitkan kesadaran
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan pada anak
usia dini.
Wayang merupakan identitas
bangsa Indonesia, demikian halnya tokoh punakawan. Mengangkat tema tentang
pewayangan berarti mengangkat budaya dan kearifan lokal yang bersumber dari
tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Salah satu tokoh punakawan yaitu
Semar, identik dengan Banyumas dan Banjarnegara. Orang banyak mengenal
Banjarnegara dengan dawet ayu-nya yang lezat. Pada gerobak dawet ayu
Banjarnegara, biasanya terpajang tokoh pewayangan yaitu Semar dan Gareng.
Meskipun Semar dan Gareng menjadi icon dawet ayu
Banjarnegara, namun makna dari icon tersebut belum banyak dimengerti orang
banyak. Untuk itu, kebudayaan dan kekhasan lokal perlu diperkenalkan kepada
anak didik khususnya anak usia dini agar kebudayaan daerah tidak tersingkir
oleh kebudayaan modern.
Artikel diambil dari Karya Ilmiah dalam rangka Lomba Apresiasi PTK PAUDNI Berprestasi Tingkat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon