MAKALAH PENGEMBANGAN KOGNITIF (SAINS)



PENGEMBANGAN KEMAMPUAN KOGNITIF SAINS
PADA ANAK USIA TK (4-5 TAHUN)

A.    Latar Belakang Masalah
Hakikat anak usia dini dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 3002 adalah kelompok manusia yang berusia 0 sampai 6 tahun. Anak usia dini merupakan kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, artinya memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan fisk (koordinasi motor kasar dan halus), kecerdasan (daya pikir, daya cipta), sosial emosional, bahasa dan komunikasi. Karena keunikan dalam tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, maka anak usia dini dibagi dalam tiga tahapan perkembangan yaitu: masa bayi, usia lahir 0-12 bukan, masa todler (batita) usia 1-3 tahun, masa prasekolah usia 3-6 tahun dan masa kelas awal SD usia 6-8 tahun (Diana Mutiah, 2010: 8).
Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan prasekolah. Menurut Yeni Rachmawati (2011: 1), pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar. Usaha ini dilakukan agar anak usia 4-6 tahun lebih siap mengikuti pendidikan selanjutnya.

Masa TK adalah masa yang peka untuk menerima berbagai macam rangsangan dari lingkungan guna menunjang perkembangan jasmani dan rohani yang ikut menentukan keberhasilan anak didik mengikuti pendidikannya di kemudian hari (Yeni Rachmawati, 2011: 1). Oleh karena itu. kegiatan pembelajaran di TK dilakukan melalui bermain dan harus memperhatikan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.
TK merupakan tempat bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Pembelajaran kognisi berupa materi metematika di TK dibatasi pada usaha meletakkan dasar-dasar kesanggupan belajar berhitung. Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran di TK, anak diharapkan dapat memiliki kemampuan dan pengetahuan tertentu yang memungkinkan anak dapat mengikuti pelajaran matematika di SD.
Salah satu potensi perkembangan anak adalah kemampuan kognitif sains. Sains pada hakikatnya sudah dapat ditanamkan sejak anak usia dini, alasannya adalah karena sejak lahir, anak sudah mengenal alam dengan caranya sendiri-sendiri. Pengenalan alam dilakukan anak dengan berbagai aktivitas sensomotorik yang dilakukan sejak lahir sampai usia 2 tahun, yaitu dengan melihat, menggenggam, menghisap dan mencium.
Kegiatan sains sangat diperlukan untuk anak usia dini karena melalui kegiatan sains maka belajar untuk mengobservasi pertanyaan menggali melakukan percobaan atau eksperimen, memprediksi dan keterampilan-keterampilan memecahkan masalah. Bekal kemampuan dan kreativitas yang tinggi akan mampu memfasilitasi dan menemukan cara-cara yang produktif dalam mendongkrak pengenalan dan penguasaan sains pada anak usia dini, kemampuan kreatif akan menghasilkan sesuatu yang positif bagi pembelajaran sains.
Menurut Tadkiron Musfiroh(2008: 13), kemampuan kognisi dalam hal ini diartikan sebagai pengetahuan yang luas daya nalar, kreativitas (daya cipta) serta daya ingat. Kognisi merupakan konsep yang luas dan inklusif yang berhubungan dengan kegiatan mental dalam memperoleh, mengolah, mengorganisasi dan menggunakan pengetahuan. Proses utama kognisi meliputi mendeteksi, mengevaluasi gagasan, menyaring prinsip, membayangkan kemungkinan, mengatur strategi, berfantasi, bermimpi dan menarik kesimpulan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini, pengembangan kognitif pada usia 4-<6 tahun mencakup tiga hal pokok, yaitu pengembangan kognitif yang berkaitan dengan pengetahuan umum dan sains, pengembangan kognitif yang berkaitan dengan konsep bentuk, warna, ukuran dan pola serta pengembangan kognitif yang berkaitan dengan konsep lambang bilangan dan huruf. Makalah ini akan membahas mengenai kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan kognitif anak usia dini yang mencakup pengembangan sains

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana kegiatan pembelajaran yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan sains pada anak usia dini ?

C.    Pembahasan
1.      Tinjauan Umum Perkembangan Kognitif pada Anak Usia 4-<6 tahun
Menurut Martini Jamaris (2003: 18), perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif, artinya perkembangan terdahulu akan menjadi dasar bagi perkembangan selanjutnya. Dengan demikian, apabila terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu, maka perkembangan selanjutnya menjadi hambatan.
Perkembangan berkaitan dengan perubahan secara kualitatif dan kuantitatif. Perkembangan dapat didefinisikan sebagai deretan progresif dari perubahan yang terarut dan koheren. Progresif dimaknai sebagai perubahan yang terarah dan koheren menunjuk adanya hubungan yang nyata antara perubahan yang terjadi dengan perubahan yang telah mendahului dan yang akan mengikutinya (Sugeng Haryadi, dkk, 2003: 5).
Menurut Gagne (Martini Jamaris, 2003: 17), kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir. Kemampuan kognitif ini berkembang secara bertahap sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada di pusat susunan syaraf.
Menurut Piaget (dalam Sugeng Haryadi, 2003: 71), kognisi dapat dijelaskan sebagai pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati atau tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengertian ataupun yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Kognisi merupakan proses psikologis yang terlihat dalam memperoleh, menyusun dan menggunakan pengetahuan merangkap kegiatan mental seperti berpikir, menimbang, mengamati, mengingat, berbahasa, belajar, memecahkan persoalan dan sebagainya.
Menurut Sunarto (2008: 11), kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap orang memiliki persepsi tentang pengamatan atau penyerapan atas suatu objek. Berarti ia menguasai sesuatu yang diketahui, dalam arti pada dirinya terbentuk suatu persepsi dan pengetahuan itu diorganisasikan secara sistematik untuk menjadi miliknya. Setiap saat diperlukan, pengetahuan yang dimilikinya itu dapat direproduksi. Banyak atau sedikit, tepat atau kurang tepat pengetahuan itu dapat dimiliki dan dapat diproduksi kembali dan ini merupakan tingkat kemampuan kognitif seseorang.
Lebih lanjut Sunarto (2008: 12) menjelaskan bahwa kemampuan kognitif menggambarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tiap-tiap orang. Pada dasarnya, kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Hasil belajar merupakan perpaduan antara faktor bawaan dan pengaruh lingkungan (faktor dasar dan ajar). Faktor dasar yang berpengaruh menonjol pada kemampuan kognitif dapat dibedakan dalam bentuk lingkungan alamiah dan lingkungan yang dibuat. Proses belajar dan mengajar adalah upaya menciptakan lingkungan yang bernilai positif, diatur dan direncanakan untuk mengembangkan faktor dasar yang telah dimiliki oleh anak. tingkat kemampuan kognitif tergambar pada hasil belajar yang diukur dengan tes hasil belajar.
Secara singkat, perkembangan kemampuan kognitif merupakan suatu proses yang progresif dan koheren dalam pusat susunan syaraf manusia dan secara psikologis terlihat dalam memperoleh, menyusun dan menggunakan pengetahuan merangkap kegiatan mental seperti berpikir, menimbang, mengamati, mengingat, berbahasa, belajar, memecahkan persoalan dan sebagainya. Kemampuan kognitif pada seseorang tergantung persepsi yang ada pada pikirannya yang diperoleh dari hasil pengalaman belajarnya.
Perkembangan kognitif pada anak usia dini berlangsung melalui beberapa fase. Piaget membagi perkembangan kognitif ke dalam empat fase yaitu: fase sensorimotor (usia 0-2 tahun), fase praoperasional (usia 2-7 tahun), fase operasi konkret (usia 7-12 tahun) dan fase operasi formal (12 tahun sampai usia dewasa) (Martini jamaris, 2003: 20). Pada pembahasan ini, penulis hanya akan mengungkapkan tentang perkembangan anak pada fase praoperasional karena usia TK (4-5 tahun) berada pada fase tersebut.
Fase praoperasional terjadi pada anak usia 2-7 tahun. Pada fase praoperasional, anak mulai menyadari bahwa pemahamannya tentang benda-benda di sekitarnya taidak hanya dapat dilakukan melalui kegiatan sensorimotor akan tetapi juga dapat dilakukan melalui kegiatan yang bersifat simbolik. Kegiatan simbolik dapat berbentuk melakukan percakapan melalui telepon mainan atau berpura-pura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Fase ini memberikan andil yang besar bagi perkembangan kognitif anak. pada fase praoperasional, anak tidak berpikir secara operasional yaitu suatu proses berpikir yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengaitkannya dengan kegiatan yang telah dilakukannya sebelumnya.
Fase ini merupakan masa permulaan bagi anak untuk membangun kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Oleh sebab itu, cara berpikir anak pada fase ini belum stabil dan tidak terorganisasi secara baik. Fase praoperasional dapat dibagi ke dalam tiga sub fase, yaitu sub fase fungsi simbolik, sub fase berpikir secara egosentris dan intuitif.
Sub fase fungsi simbolik terjadi pada usia 2-4 tahun. pada masa ini, anak telah memiliki kemampuan untuk menggambarkan suatu objek yang secara fisik tidak hadir. Kemampuan ini membuat anak tidak menggunakan balok-balok kecil untuk membangun rumah, menyusun puzzle dan kegiatan lainnya. Pada masa ini, anak sudah dapat menggambar manusia secara sederhana.
Sub fase berpikir secara egosentris terjadi pada usia 2-4 tahun. berpikir secara egosentris ditandai oleh ketidakmampuan anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Benar atau tidak benar, bagi anak pada fase ini ditentukan oleh cara pandangannya sendiri yang disebut dengan istilah egosentris.
Sub fase berpikir secara intuituf terjadi pada usia 4-7 tahun. masa ini disebut fase berpikir secara intuisi karena pada saat ini, anak kelihatannya mengerti dan mengetahui sesuatu, seperti menyusun balok menjadi rumah, akan tetapi pada hakikatnya ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain, anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian.
Perkembangan kognitif anak pada hakikatnya merupakan hasil proses asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium. Berikut ini penjelasan masing-masing proses tersebut (Martini Jamaris, 2009: 23) :
a.       Asimilasi dan akomodasi
Asimilasi berkaitan dengan proses penyerapan informasi baru ke dalam informasi yang telah ada di dalam skemata (struktur kognitif). Akomodasi adalah proses menyatukan informasi baru dengan informasi yang telah ada di dalam skemata sehingga perpaduan antara informasi tersebut memperluas skemata anak.
Contoh proses asimilasi dan akomodasi dapat digambarkan sebagai berikut: seorang anak yang baru pertama kali diberi jeruk oleh ibunya, ia tidak tahu bahwa buah yang diberikan kepadanya itu bernama jeruk. Pengetahuannya bahwa buah itu bernama jeruk karena diberitahu oleh ibunya. Pada waktu itu, anak telah mempunyai skemata tentang jeruk yaitu bentuknya yang bulat dan namanya. Setelah itu, anak tersebut menggenggam jeruk dan menggigitnya. Pada saat yang bersamaan, ibunya mengatakan “sayang, jeruk dikupas dulu baru dapat dimakan”, lalu ibunya memperlihatkan cara mengupas jeruk dan memberikan jeruk yang sudah dikupas itu kepada anaknya. Pada fase ini terjadi proses asimilasi yaitu proses penyerapan informasi baru ke dalam informasi yang telah ada di dalam skemata anak sehingga anak memahami bahwa jeruk harus dikupas dan baru dapat dimakan. Pada tahap ini telah terjadi proses akomodasi karena pengetahuan anak tentang jeruk telah diperluas yaitu jeruk kalau akan dimakan harus dikupas dulu.
b.      Ekuilibrium
Ekuilibrium berkaitan dengan usaha anak untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam dirinya pada waktu ia menghadapi suatu masalah. Untuk memecahkan masalah tersebut, ia menyeimbangkan informasi yang baru yang berkaitan dengan masalah yang dihadapinya dengan informasi yang telah ada di dalam skematanya secara dinamis. Sebagai contoh,  pada waktu anak diberi buah lain yang berkulit, maka anak akan menyeimbangkan pengetahuannya tentang jeruk dengan cara-cara yang harus dilakukannya agar buah tersebut dapat dimakan.
2.      Karakteristik Perkembangan Kognitif (Sains) untuk Anak TK Berdasarkan Permendiknas No. 58 Tahun 2009
Setiap tahap-tahap perkembangan pada manusia tentu memiliki karaktersitik tertentu. Kemampuan kognitif anak usia TK (4-<6 tahun) berkaitan dengan konsep pengetahuan umum dan sains menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 58 Tahun 2009 adalah :
a.       Mengklasifikasi bendaberdasarkan fungsi.
b.      Menunjukkan aktivitas yangbersifat eksploratif dan menyelidik (seperti: apa yang terjadi ketikaair ditumpahkan).
c.       Menyusun perencanaan kegiatanyang akan dilakukan.
d.      Mengenal sebab-akibat tentang lingkungannya (angin bertiup menyebabkan daun bergerak, air dapat menyebabkan sesuatu menjadi basah).
e.       Menunjukkan inisiatif dalam memilih tema permainan (seperti: ”ayo kita bermain pura-pura seperti burung”).
f.       Memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mengetahui karakteristik kemampuan kognitif pada anak, maka guru dapat merancang kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Kurikulum di TK untuk pengembangan sains meliputi: 1) mengelompokkan benda dengan berbagai cara yang diketahui anak misal: menurut warna, bentuk, ukuran, dan lain-lain, 2) menunjuk sebanyak-banyak benda, hewan, tanaman yang mempunyai warna bentuk ukuran atau ciri-ciri tertentu, 3) membedakan macam-macam rasa, bau dan suara berdasarkan percobaan, 4) membedakan konsep kasar melalui panca indera, 5)percobaan dengan magnet, mengamati dengan kaca pembesar, 6) menceritakan hasil percobaan sederhana tentang warna dicampur, proses pertumbuhan tanaman (biji-bijian, umbi-umbian, batang-batang, daun) dan lain-lain.
Dalam pengembangan sains, guru harus betul-betul memahami karakteristik anak dan lingkungan, dan itu akan menjadi titik tolak dalam memperkenalkan sains pada anak usia dini. Perkenalkan anak dengan lingkungan sekitar mereka seperti tanaman di sekitar sekolah. Dengan penyediaan tanaman di sekolah maka memperkenalkan sains kepada mereka tidak perlu jauh-jauh, di samping itu pembelajaran sains akan menjadi lebih nyata dan efisien, karena jarak antara sekolah dan tanaman relatif berdekatan, anak juga diperkenalkan dengan kegiatan praktis yang lebih bermakna. Dengan melibatkan anak belajar dan bekerja melalui tanaman sekolah melatih mereka menyenangi pekerjaan dan menanamkan berdisiplin misalkan dengan dibiasakan menyiram tanaman.
Dari sisi guru, ketersediaan sumber dan media belajar merupakan medium yang efektif bagi demonstrasi berbagai konsep dan kajian sains yang seharusnya dikuasai oleh anak dengan kata lain tanaman sekolah merupakan laboratorium alamiah. Dalam pembelajaran metode yang digunakan harus sesuai dengan perkembangan anak, jangan menggunakan metode yang monoton karena dengan penggunaan metode yang monoton dalam pembelajaran, anak akan merasa jenuh dan pemahaman anak kurang optimal.
3.      Kegiatan Pembelajaran Pengembangan Kemampuan Sains di TK
Pembelajaran pada anak usia dini adalah proses pembelajaran yang dilakukan melalui bermain. N. Tientje dan Yul Iskandar (2004: 13), ada lima karakteristik bermain yang esensial dalam hubungannya dengan pendidikan anak usia dini, yaitu meningkatkan motivasi, pilihan bebas (sendiri tanpa paksaan), non linier, menyenangkan dan pelaku terlibat secara aktif.
Kaitannya dengan program program pembelajaran sains usia dini, sains dapat dikembangkan menjadi tiga sustansi mendasar, yaitu pendidikan dan pembelajaran sains yang menfasilitasi penguasaan proses sains, penguasaan produk sains serta program yang menfasilitasi pengembangan sikap-sikap sains.
Pertama, sains sebagai suatu proses adalah metode untuk memperoleh pengetahuan. Rangkaian proses yang dilakukan dalam kegiatan sains tersebut, saat ini dikenal dengan sebutan metode keilmuan atau metode ilmiah (scientific method).Kedua, sains sebagai suatu produk terdiri atas berbagai fakta, konsep prinsip, hukum dan teori. Ketiga, sains sebagai suatu sikap, atau dikenal dengan istilah sikap keilmuan, maksudnya adalah berbagai keyakinan, opini dan nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh seorang ilmuan khususnya ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru. Diantara sikap tersebut adalah rasa tanggung jawap yang tinggi, rasa ingin tahu, disiplin, tekun, juju, dan terbuka terhadap pendapat orang lain (Asep Saepudin, 2012).
Dari uraian diatas akhirnya dapat kita pahami bahwa sains ternyata bukan  hanya berisi rumus-rumus atau teori-teori yang kering; melainkan juga mengandung nilai-nilai manusiawi yang bersifat universal dan layak dikembangkan serta dimiliki oleh setiap individu di dunia ini; bahkan dengan begitu tingginya nilai sains bagi kehidupan, menyebabkan pembekalan sains seharusnya dapat diberikan sejak usia anak masih dini.
Menurut Martini Jamaris (2003: 70), sejalan dengan perkembangan usia dan perkembangan kognitif, anak mulai melakukan eksplorasi yang lebih luas tentang alam dan memahami alam secara lebih baik, bahkan pada masa praoperasional, anak telah mampu menghadirkan atau merepresentasikan alam secara mental, walaupun kejadian yang berkaitan dengan alam tersebut tidak hadir secara aktual, seperti hujan, angin, dingin, bulan, bintang dan lain-lain.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran sains secara umum, diantaranya : 1) sebelum memulai pengembangan program pembelajaran guru sudah meyakinkan diri  bahwa dia sudah memahami perkembangan dan karakteristik anak secara memadai, 2) sebelum memulai pengembangan program pembelajaran guru sudah meyakinkan diri  bahwa dia sudah memahami ruang lingkup program sains, baik dari dimensi isi bahan kajian maupun dari dimensi pengembangan kemampuan anak, 3) jika rambu-rambu 1 dan atau 2, tidak terpenuhi hendaklah dalam pengembangan program pembelajaran sains, guru melakukannya secara kelompok (teamwork). Bahkan jika diperlukan dan memungkinkan tim mengundang ahli khusus atau konsultan, sehingga guru dan tim dapat bekerja lebih optimal, 4) bentuk dan wujud program sains yang dapat dihasilkan oleh guru  dan atau tim, dapat berupa program satu tahun, semester, catur wulan, bulan, minggu, atau hari atau juga insidental. Jadi dapat disesuaikan dengan kebutuhan lembaga dan kepentingan program lain secara keseluruhan, 5) sebaiknya diinventarisir seluruh yang dapat memberikan kontribusi (sumbangan) terhadap pengembangan pembelajaran sains dimaksud, sehingga program sains mendapatkan dukungan semua fihak (total  environment), dan 6) isi program dikemas dengan memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan, keliwesan, kesinambungan, kebermaknaan, dan fungsionalitas sehingga program yang dihasilkan lebih adaftif terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan belajar, apalagi beberapa karakteristik anak usia dini menunjukkan sifat yang amat situasional.
Kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan sains pada anak usia dini khususnya anak usia TK dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
a.      Merumuskan Tujuan Pembelajaran
Dalam perspektif pendidikan anak usia dini, tujuan pembelajaran meliputi semua dimensi perkembangan, berdasarkan pemahaman terhadap tingkat perkembangan, dan kebutuhan dan perkembangan individual anak. Untuk pembelajaran sains, guru memilih bahan dari kurikulum/program sains yang telah ada.Jika hal tersebut memang telah tersedia guru dapat dengan merumuskan sendiri dengan mengacu pada pada rambu-rambu yang semestinya.
Rumusan tujuan hendaklah jelas sasarannya, dapat digambarkan perilakunya, kondisi penunjang atau prasyaratnya efektif serta tingkat atau kualifikasinya sesuai dengan karakteristik anak. Tuntutan rumusan tujuan seperti itu akan semakin tinggi manakala tujuan yang diminta berupa berupa rumusan tujuan pembelajaran yang bersifat khusus, karena tujuan yang bersifat khusus merupakan indikator standar dalam mengetahui ketercapaian suatu program pembelajaran.
Secara sederhana rumusan tersebut dapat mengacu pada rumus ABCD, yang bermakna A untuk peserta didik (audience) sebagai subyek belajar sains, B untuk perubahan perilaku yang diharapkan (behavior) terjadi pada anak setalah mengikuti pembelajaran sains, C untuk kondisi, yaitu jenis rangsangan – pilihan kegiatan atau bentuk-bentuk kegiatan belajar yang disediakan (condition) yang diduga dapat menjadi medium tercapainya perolehan perilaku baru pada anak, sedangkanD untuk memberikan batasan, baik kualitatif maupuyn kuantitatif tingkatan perilaku baru yang diharapkan, biasanya mencerminkan tingkat (degree) kedalaman dan keluasan materi yang diberikan dan harus dikuasaianak dalam pengembangan pembelajaran sains, yang disesuaikan dengan daya dukung pembelajaran yang tersedia.Contoh 1:
Dipertunjukkan akuariumpadaanak TK kelompok B
C                                                            A
Dapat membedakan 2 jenis ikan yang terdapat di dalamnya
B

Berdasarkan cirri-ciri yang melekat pada setiap ikan
D
Contoh 2 :
Anak-anakdapat menceritakan ciri-ciri gajahsecara benar
A                                           B                                    D
Berdasarkan pengalaman kunjungan ke kebun binatang
C
b.      Menentukan Material Yang  Dibutuhkan
Rumusan  tujuan yang dibuat oleh guru sains, jika rumusannya benar dan dibuat secara sempurna akan menunjukkan dan menggambarkan, paling tidak memprediksi berbagai kebutuhan material yang diperkirakan diperlukan. Contoh material yang dapat digunakan dalam pembelajaran sains bagi anak usia dini, diantaranya : akuarium, lem, palu, baking soda, tabung karet, jam pasir gelas takaran dan sebagainya. Semua peralatan tersebutjika tersedia di sudut (area) kegiatan sains, maka guru tinggal memilihnya  tetapi jika tidak adamaka tetap harus mengusahakan dengan maksud tujuan yang telah dicanangkan dapat tercapai secara baik.
c.       Penyiapan Anak dan Setting Lingkungan
Kegiatan yang terkait dengan penyiapan anak meliputi; penyiapan emosi, pengenalan peraturan, pembagian kerja, pembagian kelompok, dan sebagainya. Adapun yang terkait  dengan setting lingkungan, menyipkan lingkungan  atau tempat yang akan digunakananak dalam melakukan eksplorasi dan pengajian sains, baik di sudut (area) sains (laboratorium), maupun di luar (di kebun sekolah, taman, sawah, dan sebaginya), yang disebut laboratorium alamiah.
d.      Pengembangan Kegiatan
Pembelajaran yang ditujukan untuk pengembangan dasar-dasar kemampuan sains (IPA) perlu dikemas dalam kemasan yang dapat menampung berkembangnya kemampuan dasar IPA karena guru perlu memperkenalkan pada anak cara-cara berpikir ilmiah yang biasanya dilakukan dalam IPA. Cara berpikir ilmiah ini terwujud dalam serangkaian kegiatan yang dimulai dari menyadari adanya suatu permasalahan, menemukan fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan, mengemukakan hipotesis dan menguji kebenaran hipotesis (Martini Jamaris, 2003: 71).
Pada awal kegiatan pembelajaran, guru mengajak anak untuk mendiskusikan ide dan saran tentang kegiatan yang akan dilakukan, misalnya guru mengemukakan pertanyaan yang bertujuan untuk menimbulkan konflik di dalam pikiran anak “Anak-anak, mari kita pikirkan apa yang paling penting kita lakukan saat ini?”. Pertanyaan ini merupakan pemanasan yang akan memunculkan konflik di dalam pikiran anak dan pada tahap selanjutnya berbagai ide dan pikiran akan muncul dari anak sehingga menghasilkan beberapa pendapat tentang apa yang paling penting dilakukan saat itu.
Tahap selanjutnya adalah menemukan fakta. Setelah langkah pertama berhasil dilakukan anak yaitu mengemukakan ide dan pikiran, maka guru mengajak anak untuk menemukan fakta misalnya dengan menebak bahwa gambar yang diperlihatkan guru adalah gambar ikan. Dalam hal ini, guru dapat mengajukan pertanyaan seperti “ikan beranang di .... ? anak akan menjawab bervariasi sesuai latar belakang pengalaman mereka, seperti : “di ari, sungai, kolam, empang dan lain-lain” kemudian guru mengajukan pertanyaan “bagaimana ikan berenang ? siapa yang dapat menirukan ikan berenang ?”. Pertanyaan guru akan dijawab anak secara kreatif dengan cara melakukan gerakan ikan berenang dan disertai suara “siuuuung, siuuuung”.
Setelah anak dapat mengungkapkan fakta yang berkaitan dengan ikan, maka tahap selanjutnya guru mengajak anak untuk menemukan masalah-masalah yang terkait dengan kehidupan ikan. Untuk merangsang kreativitas anak, guru dapat mengajukan pertanyaan “Anak-Anak, ikan yang ada di dalam akuarium apabila airnya dikeringkan, apa yang akan terjadi pada ikan tersebut ?”.
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan sebelumnya, maka guru mengajak anak untuk mencari pemecahan terhadap ikan yang sedang dalam keadaan sekarat, misalnya dengan mengajukan pertanyaan “Kalau ikan sedang megap-megap, apa yang harus dilakukan ?”. Pertanyaan ini mungkin akan dijawab dengan berbagai jawaban sebagai berikut: “Disiram dengan air”, “disimpan ke dalam air” atau “dibasahi” atau “dimasukkan ke dalam akuarium”.
Dalam fase pembuktian kebenaran hipotesis, guru hendaknya menyajikan kegiatan aktual yang dapat memberikan pengalaman secara konkret kepada anak tentang pengujian hipotesis yang diajukan. Berkaitan dengan ikan, maka guru hendaknya memperlihatkan proses yang menunjukkan ikan yang megap-megap kemudian memasukkannya ke dalam air sehingga ikan menjadi segar kembali. Dengan demikian, anak dapat membuktikan secara langsung kebenaran hipotesisnya.
e.       Penguatan dan Penghargaan
Pembelajaran yang bernilai  edukatif yaitu kegiatan yang dapat menimbulkan  gairah balajar anak.   Salah satu alat  yang dapat digunakan yaitu dengan menyediakan  berbagai variasi  penguatan dan penghargaan  sehingga kemajuan dan motivasi anak makin meningkat.Berbagai  penguatan dan penghagaandapat dilakukan melalui ucapan, gerakan, atau menunjukan peran positif pada anak(misal : Sang Profesor), atau dengan gift (kado/benda) dan lain-lain, yang ditentukan dalam perencanaan, misalkan anak yang pekerjaan sain  dengan sempurn diberikan coklat atau bunga, atau sesuatu yang diperkirakan bermanfaat bagi peserta didik.
f.       Melakukan Tindakan Pengayaan
Kebermaknaan  suatu studi  sains akan semakin tinggi jika para guru menyediakan program pegayaan. Program  yang direncanakan tidak selalu dalam bentuk formal, bahkan yang terbaik dalam bentuk menyenangkan. Untuk pengayaan guru dapat merencanakan kunjungan ke kebun binatang, kantor pos atau  ke tempat-tempat  yang cocok dengan bidang sains yang di kembangkan ,termasuk ke industri: seperti ke pabrik roti, bengkel mobil, perusahaan batik ,dan sebagainya.
g.      Mengembangkan Penilaian Pembelajaran Sains Untuk Anak
Kegiatan evaluasi merupakan suatu kesempatan untuk merefleksikan pengalaman anak  serta sebagai  alat untuk  mengetahui kemajuan proses maupun hasil belajar anak  yang dicapai oleh anak. Jika tujuan evaluasi itu dilihat dari sisi impliksi dan konsekuensi yang lebih jauh, maka tujuan penelitian tersebut dimaksutkan untuk merencanakan kurikulum  pengembangan anak,meningkatkan perkembangan kemampuan  anak  selanjutnya, serta keberhasilan belajaranak dikelas; baik pada dimensi  individu, kelompok, maupun klasikal.

D.    Kesimpulan
Pengembangan kemampuan kognitif anak pada dasarnya meliputi tiga hal yaitu pengembangan kognitif yang berkaitan dengan pengetahuan umum dan sains, pengembangan kognitif yang berkaitan dengan konsep bentuk, warna, ukuran dan pola serta pengembangan kognitif yang berkaitan dengan konsep lambang bilangan dan huruf. Berkaitan dengan pengembangan kemampuan kognitif sains pada anak usia dini, maka guru perlu mengembangkan kegiatan bermain yang dapat merangsang anak mengeksplorasi kemampuannya.
Substansi pembelajaran sains pada program Pembelajaran Anak Usia Dini (PAUD) diorientasikan pada proses pengenalan dan proses penguasaan tentang sains sesuai dengan tingkat usianya, sehingga kedua proses tersebut diharapkan menjadi  titik awal penguasaan sains untuk level selanjutnya. Oleh karena itu, wilayah garapan pembelajaran sains bagi anak usia dini meliputi dua dimensi besar, pertama dilihat dari isi bahan kajian dan kedua dilihat dari bidang pengembangan atau kemampuan yang akan dicapai. 
Langkah-langkah pembelajaran sains diawali dengan: 1) perumusan tujuan, 2) penentuan material, 3) setting lingkungan, 4) pengembangan kegiatan, 5)pemberian penghargaan,dan 6) tindakan pengayaan. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan kondisi lembaga dan ketersediaan sarana dan sumber belajar.
Previous
Next Post »